Man Ana ?
Ditengah hiruk pikuk aktifitas manusia, yang perhiasan dunia menjadi
obsesinya, pangkat dan jabatan menjadi orientasi hidupnya, apapun akan ia
dilakukan demi tercapainya impian dan asanya, tak terbesit dihatinya tentang
keabadian dan keindahan akhirat yang allah kabarkan.Walaupun diantara mereka
ada yang mengaku dirinya sebagai muslim tetapi tidak tahu atau bahkan tidak mau
tahu apa itu islam, agama sekedar formalitas atau sebagai legalitas dalam
berinteraksi pada suatu komunitas. Kehidupan yang penuh dengan canda tawa,
berleha-leha, atau robot yang selalu bekerja tanpa adanya ruh ibadah kepadaNya
atau ditengah para pemuda yang lebih asyik nongkrong dipinggir jalan daripada
berdiam diri dimasjid atau melakukan aktifitas yang lebih bermanfaat.
Man Ana?
Ditengah hinggar binggar kemajuan teknologi baik informasi maupun
eletronik, yang memudahkan manusia dalam melakukan berbagai macam aktifitas,
namun menjadi boomerang bagi kebanyakan orang, karena begitu asyiknya mereka
menikmatinya, hingga lalai dari ibadah kepada Allah RobbNya, terlena, terbuai
hingga akhirnya terhinakan.
Man Ana ?
Disekumpulan orang –orang yang mendedikasikan hidupnya untuk berdakwah
menyeru manusia kepada jalan keselamatan dunia dan akhirat berdasarkan
al-Qur’an dan as-sunnah, tak kenal lelah dengan aktifitasnya yang padat, tak
mengeluh atau resah dengan kebutuhan hidup sehari-hari, mencurahkan seluruh
potensi untuk kemashlahatan dakwah dan umat. Mereka tetaplah manusia bukan
malaikat, mereka bukanlah orang biasa tapi luar biasa karena mereka “lari” dari
kebiasaan hidup orang banyak. Walaupun belum tentu mereka dapat menuai hasil
panennya karena baginya yang terpenting adalah berkontribusi di dalamnya.
Man Ana ?
Disaat islam dinistakan, saat
saudara-saudara kita sesama muslim tengah ditimpa penindasan dan kesengsaraan.
Kemiskinan yang melanda mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia terutama
Indonesia, yang parahnya bukan hanya miskin harta melainkan miskin jiwa atau
keimanan pula, ditambah lagi hegemoni barat terhadap dunia islam : yang
“memporak-porandakan” sistem pemerintahan, ekonomi dan perpolitikan, hanya ada
dua pilihan : menjadi boneka atau diserang. Waa islamah…!!
Dimanakah kita diberbagai
keadaan diatas?dimana posisi atau peran kita?apakah yang sedang kita
lakukan?apakah termanggu, bertopang daku?atau “khusyu’” dalam buaian
selimut?atau tidur di atas tumpukan buku?Atau malah menjadi pembual tanpa amal?
Saudaraku…
Pernahkah terlintas dialog
diri semacam itu? sebuah kerisauan tentang eksistensi dan kontribusi diri dalam
lingkup dakwah, li izzil islam wal muslimin?peran atau action apa
yang kita ambil dalam kancah dakwah?atau
kita tidak pernah merasakan kerisauan tentang qadhaya umat islam, dekadensi
moral, lebih dari itu hilangnya kekhilafahan, padahal kerisauan terhadap
hal-hal itu semua adalah termasuk karateristik seorang da’I, ia risau :
bagaimana memperbaiki permasalahan umat, mengembalikan izzah islam wal
muslimin, mewujudkan kepemimpinan internasional umat islam, obsesinya bukan
terfokus pada permasalahan pribadinya
semata, karena ia yakin Allah akan menolongnya selamanya ia berdakwah menegakan
Agama Allah.
Saudaraku…
Apa kita hanya menjadi penonton, dengan
bermacam-macam karakternya : ada yang cuek atau apatis, ada yang hanya sekedar
simpati dan empati : ikut sedih, gembira dan terharu ketika sejarah menuliskan
kabar menyedihkan atau mengembirakan, ia hanya berda dipinggiran sejarah, atau kita hanya menjadi komentator, seperti
komentator dalam sebuah pertandingan, misalkan : sepak bola, ia mengomentari
kelemahan para pemain walaupun belum tentu ia lebih lihai bermain dari yang
dikomentarinya.
Saudaraku….
Belumlah terlambat untuk
memulai gerakan, menyatukan langkah, persepsi dan orientasi. Peran apa yang
akan kita ambil, jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang sangat
dikhawatirkan sayyidina umar bin khoththob : ketidakberdayaan seorang tsiqoh
(‘ajzuts-tsiqot) “ya allah aku berlindung kepadaMu dari keperkasaan(hegemoni)
orang yang durhaka dan ketidakberdayaan seorang tsiqoh”. Kita mempunyai potensi
yang belum “diledakan”. sejarah keemasan umat islam akan terulang manakala ruh
yang membangkitkannya itu ada kembali, saat iman adalah saat kejayaan, saat
kehancuran adalah saat hilangnya iman. Keimanan yang melahiran keshalihan pribadi dan sosial, bukan hanya
keyakinan atau ritual semata.
Saudaraku…..
Belum beranikah kita
mendeklarasikan diri sebagai seorang da’I ? da’I tidaklah berdakwah sendiri
tapi ia berjama’ah, dan bukan segerombolan orang yang kumpul tak beraturan
tanpa ada tujuan tapi geraknya terorganisir dengan baik bukan secara sporadis,
tak pula bodoh justru ialah seorang yang faqih lagi tawadhu’ serta ia menjadi
figur tauladan bagi yang lain seperti yang Allah firmankan setelah menceritakan
kisah terbaik dalam al-qu’an ; kisah nabi yusuf : "Inilah jalan (agama)
ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku [berdakwah] mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata [bashiroh], Maha Suci Allah, dan Aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik". Dan ia tidak pula berkarakteristik
komprador, yang hanya mencari jalan aman dan keselamtan pribadi saja atau dan
keluarga padahal tabiat dakwah adalah jalan yang panjang yang bertabur onak
duri bukanlah jalan berhiasan permadani dan hanya sedikit orang yang mampu
mengemban dan merealisasikan cita-cita tersebut.
Dan seorang da’i tidak akan
mengatakan seperti yang dikatakan bani israil kepada nabi musa : “pergilah kamu
bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami Hanya duduk
menanti disini saja".
Ha_ana_dza, fa man antum....? Wallahu a’lam
bishshowab