Bisa dikatakan, sejarah perjalanan bangsa
Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 adalah sejarah pemaknaan dan
penafsiran Pancasila. Berbagai kelompok dan aliran ideologi berusaha
memberikan tafsir Pancasila, sesuai dengan aspirasi ideologisnya. Kaum
Kristen, misalnya, mengembangkan model penafsiran sekular dan netral
agama untuk Pancasila. Orde Lama mengembangkan penafsiran Pancasila ala
”nasakom” yang memadukan antara agama, nasionalis, dan komunis. Orde
Baru muncul dengan jargon koreksi total terhadap Orde Lama dan
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, ideologi bangsa, dan pedoman
moral bangsa. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sempat
dijadikan sebagai model tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Penataran-penataran Pancasila digalakkan. Toh, akhirnya, penafsiran dan
penarapan Pancasila semacam itu didikoreksi oleh generasi berikutnya.
Hingga kini, setelah 10 tahun lebih era
reformasi berjalan, banyak pihak masih terus mencari-cari rumusan baru
tentang model penafsiran Pancasila. Bahkan, tidak sedikit yang mulai
khawatir akan masa depan Pancasila. Namun, sebagian masih terus
menggebu-gebu mengangkat dan menjadikan Pancasila sebagai ”alat pemukul”
terhadap aspirasi umat Islam di Indonesia. Setiap ada peraturan atau
perundang-undangan yang diperuntukkan bagi orang Islam di Indonesia,
langsung dituduh dan dicap sebagai ”anti-Pancasila” dan ”anti-NKRI”.
Sebuah Tabloid Kristen, Reformata edisi
103/2009, misalnya, kembali mempersoalkan penerapan syariat Islam di
Indonesia. Para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan Halal dan
RUU Zakat dikatakan akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”Para pihak yang memaksakan
kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat
ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain,
karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa
jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap
Redaksi Tabloid tersebut.
Tabloid Kristen Reformata edisi 110/2009
kembali mempersoalkan penerapan syariat Islam bagi umat Islam di
Indonesia. Edisi kali ini mengangkat judul sampul: “RUU Diskriminasi
Segera Disahkan.” Yang dimaksudkan adalah RUU Makanan Halal yang akan
disahkan oleh DPR. Tabloid yang terbit menjelang Pilpres 2009 ini,
menulis pengantar redaksinya sebagai berikut: “Kita memerlukan presiden
yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver
kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan
diberlakukannya ”Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan itu
lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke
dalam peraturan perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah
kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU
Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU
Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain. Apa
pun alasannya, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar negeri ini.”
Sikap kaum Kristen – dan juga sebagian
warga Indonesia lainnya – yang sangat gigih menolak segala hal yang
berbau Islam di Indonesia sangat mengherankan. Bahkan, Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, telah
mengirimkan surat kepada para capres ketika itu. Isinya sebagai berikut:
”Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami
menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk
membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak
pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan konstitusi Republik Indonesia.”
Bukan hanya Perda-perda yang dianggap
berbau syariat Islam yang dipersoalkan. Pihak Kristen juga masih
mempersoalkan UU Perkawinan yang telah berlaku di Indonesia sejak tahun
1974. Aneh juga, kalau UU tentang Sisdiknas yang sudah disahkan oleh DPR
dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tahun 2003 juga terus
dipersoalkan, dan dianggap oleh kaum Kristen sebagai hal yang
bertentangan dengan Pancasila.
Benarkah pemahaman Pancasila versi kaum
Kristen tersebut? Jika ditelusuri, sikap kaum Kristen terhadap
Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana dipaparkan dalam buku terbaru karya
Dr. Adian Husaini ini, masih belum banyak bergeser banyak dari pandangan
dan sikap kaum penjajah Belanda. Dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, pihak Kristen sudah berhasil memaksakan kehendaknya, sehingga
pada 18 Agustus 1945, ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus dari Piagam Jakarta. Umat
Islam ketika itu terpaksa menerima, untuk menjaga keberlangsungan
Negara Merdeka yang baru saja diproklamasikan satu hari sebelumnya.
Tetapi, Piagam Jakarta kemudian
dikembalikan oleh Bung Karno dalam Dekrit 5 Juli 1959. Jadi, Piagam
Jakarta adalah dokumen yang sah yang di masa Bung Karno juga dijadikan
sebagai konsiderans sejumlah produk perundang-undangan. Anehnya, begitu
memasuki era Orde Baru, Piagam Jakarta justru dijadikan ”momok” dan
barang haram yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan berbangsa dan
bernegara. Di masa itu, orang yang menjadikan Piagam Jakarta sebagai
landasan hukum dicap sebagai bagian dari ekstrim kanan. Di dalam buku
Strategi Politik Nasional karya Ali Moertopo, (Jakarta: CSIS, 1974),
digariskan strategi politik Orde Baru di bidang ideologi: ”…Demikian
pula usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke arah kanan dengan
memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum, dan secara lebih
ekstrim untuk mendirikan negara Islam, juga telah diatasi, khususnya
dalam Sidang MPRS ke-V meskipun di sana-sini masih disebut-sebut tentang
Piagam Jakarta.”
Jadi, menurut Ali Moertopo yang pernah
menguasai politik Orde Baru pada dekade 1970-an, usaha memasukkan Piagam
Jakarta sebagai dokumen hukum disebut sebagai upaya untuk
menyelewengkan Pancasila. Cara pandang yang a-historis dan tidak
konstitusional seperti ini masih saja dipakai oleh sebagian kalangan
tertentu. Ini adalah akibat kesalahpahaman terhadap Pancasila. Sayang
sekali, para tokoh Kristen di Indonesia, masih belum bersedia menerima
kenyataan sejarah dan hak konstitusional umat Islam, sehingga terus
memproduksi pemahaman yang keliru, dan dalam beberapa hal bisa
meningkatkan kebencian dan kecurigaan terhadap kaum Muslim di Indonesia,
sehingga sering keluar ungkapan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Contoh pemahaman Pancasila yang
sekularistik dan netral agama diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (P&K) periode 1977-1982, Dr. Daoed Joesoef. Tokoh CSIS
ini menuliskan dalam memoarnya bahwa semasa menjabat Menteri P&K ia
telah berusaha keras meyakinkan Presiden Soeharto agar negara Indonesia
membuat pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Meskipun seorang
Muslim, Daoed menolak untuk mengucapkan salam Islam. Alasannya, ia bukan
menterinya orang Islam saja dan Indonesia juga bukan negara Islam.
”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik
Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk,
multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan
lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam,” kata Daoed
Joesoef.
Daoed Joesoef juga meminta agar di Istana
Negara diselenggarakan Perayaan Natal Bersama, bukan hanya Maulid Nabi
Muhammad saw. Dalam memoarnya yang berjudul Dia dan Aku: Memoar Pencari
Kebenaran (2006), Daoed Joesoef menjabarkan secara panjang lebar gagasan
dan harapannya agar Indonesia menjadi negara yang netral secara agama,
sebagaimana Turki. Ia berharap Presiden Soeharto bersikap seperti
Mustafa Kemal Ataturk, Bapak sekular Turki. Tapi, harapannya kandas.
Presiden Soeharto hanya mengangkatnya sebagai Menteri P&K satu
periode saja.
Itulah contoh pemahaman tentang Pancasila
yang netral agama. Untuk meminggirkan aspirasi dan hak konstitusional
umat Islam, selama beberapa dekade dikembangkan berbagai ragam
penafsiran Pancasila yang sekular dan ”netral-agama”. Pancasila
diletakkan dalam bingkai konsep sekular. Setiap ada usaha kaum Muslim
untuk menerapkan agamanya pada level kemasyarakatan dan kenegaraan, maka
akan serta merta dituduh telah menyimpang dari Pancasila.
Padahal, sejarah kelahiran Pancasila dan
bunyi teks Pembukaan UUD 1945 – yang hanya beda 7 kata dengan Piagam
Jakarta, dan merupakan sumber naskah Pancasila – sebenarnya sangat
kental dengan nuansa pandangan-dunia atau pandangan-alam Islam (Islamic
worldview), bukan pandangan dunia sekular atau ateis. Para tokoh Islam
yang terlibat dalam perumusan Pancasila, seperti KH Wahid Hasjim (NU),
Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki
Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan sebagainya, berhasil mempengaruhi
rumusan tersebut, sehingga seharusnya mampu mencegah penggunaan
Pancasila sebagai alat pemukul aspirasi umat Islam di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pandangan para tokoh Islam, bahwa
Pancasila – khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa — adalah konsep Tauhid,
tetap tidak berubah. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama
dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan
Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985,
Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada
sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata
yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini
dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan
penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha
Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut
akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat
menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Berbeda dengan para tokoh Islam, para
tokoh Kristen di Indonesia selama beberapa dekade telah memberikan
tafsir Pancasila yang netral agama. Terkait dengan tema Pancasila dan
Agama, tokoh Katolik Prof. Dr. N. Drijarkoro S.J. dalam Seminar
Pancasila I di Yogyakarta pada tanggal 16-20 Februari 1959, membuat
sejumlah kesimpulan, bahwa: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah
negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita
berdiri di tengah-tengah. Tugas negara yang berdasarkan Pancasila
hanyalah memberi kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan
religi. Dengan demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang
dapat timbul bila agama dan negara dijadikan satu.”
Selanjutnya dikatakan oleh Drijarkoro
S.J: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular,
karena mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak
berarti bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak
mendasarkan diri atas sesuatu agama tertentu. Negara yang berdasarkan
Pancasila adalah negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan
kondisi yang sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi
negara Pancasila itu tidak bersikap indifferent terhadap religi.
Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan
bangsa kita yakni sebagai monotheisme.”
Di masa Orde Lama, ketika dekat dengan
PKI, Bung Karno pernah menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi
Pancasila. Keduanya merupakan satu kesatuan, sambil membuat perumpamaan
kesatuan antara al-Quran dan hadits. Dikatakan oleh Soekarno: “Quran
dan hadits shahih merupakan satu kesatuan, maka Pancasila dan Manifesto
Politik dan USDEK pun merupakan satu kesatuan. Quran dijelaskan oleh
hadits, Pantjasila dijelaskan dengan Manifesto Politik serta intisarinya
yang bernama USDEK. Menifesto Politik adalah pemancaran daripada
Pancasila! USDEK adalah pemancaran daripada Pancasila. Manifesto
Politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain.”
Di masa Orde Baru, Pancasila dijadikan
sebagai asas tunggal bagi Ormas dan Orpol. Juga, dikembangkan tafsir
Pancasila model P4. Akhirnya, sejarah membuktikan, Pancasila terpuruk
bersama Orde Baru. Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, dalam bukunya yang
berjudul ”Negara Pancasila” (2009) menjelaskan serangkaian kekeliruan
penafsiran Pancasila dan akibatnya sekarang: ”Sejarah selanjutnya dapat
kita simak. Pancasila yang telah direbut negara justru kedodoran ketika
menjelaskan perilaku pemerintahan. Masyarakat tidak mampu mengontrol,
karena kebenaran dan kontrol ideologi hanya milik negara. Padahal,
Pancasila belum mampu berkembang menjadi ”ideologi ilmiah” atau apa pun
yang dapat dipertandingkan dengan ideologi-ideologi besar.
Keinginan Pancasila untuk membumi malah
kontraproduktif menjadi indoktrinasi. Pancasila kemudian tersudut,
dikeramatkan, dimonopoli, dan dilindungi dengan tindak kekerasan.
Pancasila yang keropos itu akhirnya mengalami nasib naas; jatuh
tersungkur bersama rezim Orde Baru. Masyarakat menjadi trauma dengan
Pancasila. Dasar negara ini seolah dilupakan karena hampir identik
dengan rezim Orde Baru. Tragedi demikian seperti mengulang pengalaman
tiga dekade sebelumnya. Sejarah berulang.”
Jadi, bagaimana sebenarnya pemahaman
Pancasila yang tepat? Buku yang ditulis Dr. Adian Husaini ini
membuktikan besarnya pengaruh Pandangan Dunia atau Pandangan Alam Islam
(Islamic worldview) terhadap Pembukaan UUD 1945, meskipun telah
dikurangi tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya). Perdebatan-perdebatan seru di BPUPK dan PPKI
membuktikan ketangguhan dan kejeniusan para tokoh Islam dalam memasukkan
nilai-nilai Islam ke dalam rumusan dasar negara. Kegagalan mereka dalam
mewujudkan sebuah negara berdasar Islam secara ekspilit, tidak
mengurangi semangat juang mereka untuk tetap menjadikan Pembukaan UUD
1945 – yang didalamnya terkandung Pancasila – sebagai konsep dasar
negara yang bermakna Tauhid. I.J Satyabudi, seorang penulis Kristen,
mengakui: “Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah
atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila
Pertama ini.”
Bukan hanya itu. Rumusan sila kedua dari
Pancasila (Kemanusiaan yang adil dan beradab) juga berhasil diamankan
dari pandangan-dunia sekular. Jika sebelumnya, dalam sidang BPUPK,
Soekarno dan M. Yamin mengusulkan rumusan ”Peri-kemanusiaan” dalam
Pancasila, maka para tokoh Islam di Panitia Sembilan, yaitu KH Wahid
Hasjim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar
Muzakkir, berhasil memasukkan dua kata kunci dalam Islam, yaitu kata
adil dan adab dalam rumusan sila kedua tersebut. Dua kata itu merupakan
istilah kunci dalam Islam (Islamic basic vocabulary) dan hanya bisa
dimaknai dengan tepat jika merujuk kepada makna yang ada dalam kosa kata
Islam. Dalam buku ini, diuraikan secara panjang lebar bagaimana makna
dua istilah itu dalam Islam, dengan merujuk terutama pada pendapat KH
Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Bagaimana Islam memandang Pancasila?
Prof. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang juga anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, memberikan pandangan lugas: “Bahwa
Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun
baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang
oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan
dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.”
Pada akhirnya, Prof. Kasman mengingatkan, bahwa yang lebih menentukan adalah kenyataan di lapangan. Jika umat Islam menginginkan Islam tegak di bumi Indonesia, maka mereka harus berjuang keras melaksanakan dakwah di dalam realitas kehidupan. Jauh sebelum penjajah Kristen datang ke Nusantara, Islam telah dipeluk oleh mayoritas penduduk di Kepulauan Nusantara. Islam telah menjadi pandangan dunia yang dominan di wilayah ini. Meskipun bukan sebuah rumusan formal dari sebuah konsep negara berdasarkan Islam, tetapi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak bisa dimaknai sembarangan sebagai konsep sekular dan netral agama yang ditujukan untuk menindas atau mengeliminasi hak-hak konstitusional umat Islam Indonesia.
Pada sisi lain, umat Islam Indonesia saat ini perlu memahami sejarahnya dengan baik, khususnya sejarah perjuangan para pejuang Islam, baik sebelum masa kemerdekaan maupun masa sesudahnya. Para pejuang itu telah mengalami dinamika perjuangan yang keras dan panjang yang kemudian menemukan titik solusi dan kompromi pada tataran realitas perjuangan. Upaya untuk menegakkan Islam di Indonesia telah dilakukan oleh generasi demi generasi yang datang silih berganti. Hasil-hasil perjuangan mereka harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Di negara Indonesia saat ini, dengan dasar Pancasila – sebagaimana dirumuskan dan dipahamkan oleh para tokoh Islam pendiri NKRI — begitu luas tersedia ruang untuk berjuang. Umat Islam leluasa sekali membuat sekolah Islam, radio Islam, TV Islam, rumah sakit Islam, Bank Islam, dan sebagainya. Jangan sampai ada seorang yang karena tidak mampu mengelola sekolahnya dengan baik, lalu menyatakan, bahwa sekolahnya gagal karena Indonesia bukan merupakan negara Islam.
Pada akhirnya, Prof. Kasman mengingatkan, bahwa yang lebih menentukan adalah kenyataan di lapangan. Jika umat Islam menginginkan Islam tegak di bumi Indonesia, maka mereka harus berjuang keras melaksanakan dakwah di dalam realitas kehidupan. Jauh sebelum penjajah Kristen datang ke Nusantara, Islam telah dipeluk oleh mayoritas penduduk di Kepulauan Nusantara. Islam telah menjadi pandangan dunia yang dominan di wilayah ini. Meskipun bukan sebuah rumusan formal dari sebuah konsep negara berdasarkan Islam, tetapi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak bisa dimaknai sembarangan sebagai konsep sekular dan netral agama yang ditujukan untuk menindas atau mengeliminasi hak-hak konstitusional umat Islam Indonesia.
Pada sisi lain, umat Islam Indonesia saat ini perlu memahami sejarahnya dengan baik, khususnya sejarah perjuangan para pejuang Islam, baik sebelum masa kemerdekaan maupun masa sesudahnya. Para pejuang itu telah mengalami dinamika perjuangan yang keras dan panjang yang kemudian menemukan titik solusi dan kompromi pada tataran realitas perjuangan. Upaya untuk menegakkan Islam di Indonesia telah dilakukan oleh generasi demi generasi yang datang silih berganti. Hasil-hasil perjuangan mereka harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Di negara Indonesia saat ini, dengan dasar Pancasila – sebagaimana dirumuskan dan dipahamkan oleh para tokoh Islam pendiri NKRI — begitu luas tersedia ruang untuk berjuang. Umat Islam leluasa sekali membuat sekolah Islam, radio Islam, TV Islam, rumah sakit Islam, Bank Islam, dan sebagainya. Jangan sampai ada seorang yang karena tidak mampu mengelola sekolahnya dengan baik, lalu menyatakan, bahwa sekolahnya gagal karena Indonesia bukan merupakan negara Islam.
Itulah Pancasila dengan berbagai ragam
dan kontroversi sepanjang sejarahnya yang diungkapkan secara menarik
dalam buku karya Dr. Adian Husaini ini. Silakan baca dan renungkan
secara mendalam isi buku ini! Buku ini membuktikan bahwa ternyata masih
banyak yang perlu digali dan dipelajari dari khazanah sejarah
perjuangan Islam di Indonesia. Buku ini juga membawa pesan penting:
tidak patut ada yang merasa seolah-olah selama ini belum pernah ada
orang atau kelompok yang memperjuangkan Islam secara sungguh-sungguh di
Indonesia; dan sekarang, barulah dia atau kelompoknya saja yang
benar-benar memperjuangkan Islam secara sungguh-sungguh di Indonesia.
Anggapan semacam itu tentu saja keliru.
Maka, belajarlah dari sejarah dengan
sungguh-sungguh. Pelajari bagaimana para pejuang Islam dulu telah
berjuang selama ratusan tahun di Indonesia, agar cita-cita yang tinggi
dan mulia tidak berujung pada kegagalan. Tidak patut seorang mukmin
disengat ular pada lobang yang sama! Untuk itu, bacalah buku Pancasila
bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Baca dulu, baru
bicara! Wallahu a’lam bish-shawab.
(admin/cse/adianhusaini.com)