DR. Hisyam At-thalib dalam bukunya "Dalil Attadrib
Al-Qiyadi" (The International Institute of Islamic Thought 1995)
mengungkapkan 21 kelemahan gerakan dakwah masa ini. Kelemahan-kelemahan
tersebut harus diungkap agar para aktivis dakwah dan qiyadahnya
menyadarinya dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang lapang. 21
kelemahan tersebut adalah hal-hal yang sangat prinsip dan menjadi
faktor-faktor kemunduran gerakan Dakwah kalau tidak bisa dikatakan
sebagai faktor-faktor kehancurannya.
Melihat dan mengungkap 21 kelemahan tersebut adalah melalui kacamata
internal gerakan dakwah itu sendiri dan bukan dari sisi para pengamat
dari luar, namun dari pelaku dari dalam gerakan itu sendiri.
Diiharapkan, para aktivis gerakan dakwah dan para qiyadahnya menyadari
hal-hal tersebut dan pada waktu yang sama siap mengoreksi diri untuk
menatap masa depan yang lebih baik dan cerah lagi.
Bagi yang tidak siap melihat kelemahan dalam diri, siapapun dia dan
apapun nama gerkannya, bersiap-siaplah menuju kemunduran dan kejumudan.
Hanya orang-orang yang berani mengakui kelemahan diri dan kemudian mau
merubahnya yang memiliki peluang berkembang dan meraih kesuksesan di
masa yang akan datang. Apalagi, masyarakat hari ini sudah mulai cerdas
untuk menilai mana yang akan bermanfaat bagi mereka dan mana yang
mudharat.
Kelemahan Pertama (1) ialah : KEGAGALAN MENERAPKAN SISTEM SYURA
Gerakan Dakwah belum mampu menerapkan sistem syura secara utuh dan
sempurna. Situasi dan kondisi yang mendominasi berbagai gerakan dakwah
adalah sistem "assam'u wat tho'ah" (dengar dan taat). Memang
sebagian qiyadah dakwah selalu menyerukan sistem syura. Namun,
disayangkan hanya sebatas teori belaka. Pada tataran prakteknya masih
jauh panggang dari api. Debat apakah syura itu mengikat atau tidak,
khususnya bagi qiyadah juga masih belum tuntas.
Kita butuh kepada sebuah sistem syura yang mengikat, namun
terorganisir dengan baik berdasarkan kaedah-kaedah dan dasar-dasar
ilmiyah yang mapan. Sebab itu, perlu keterlibatan sebanyak mungkin
orang-orang yang credible dan qualified sebagai
anggota majelis syura agar kebijakan dan keputusan yang diambil menjadi
lebih dekat kepada kebenaran, demikian juga halnya dengan implementasi
kebjikan dan keputusan itu.
Sistem syura yang diamanahkan Al-Qur'an itu perlu dipahami secara
pasti, bukan dengan konsep yang remang-remang. Kita harus befikir dan
bekerja keras untuk memahaminya dengan baik dan maksimal sehingga sampai
kepada kesimpulan yang pasti dan yakin, apalgi kita sekarang hidup di
zaman yang serba pasti.
Kelemahan Kedua (2) ialah : LEMAHNYA TEAM WORK
Tidak diragukan bahwa harokah dakwah telah berhasil
melahirkan individu-individu yang istimewa. Namun persoalan berikut yang
muncul ialah saat mereka itu diminta beramal dalam satu tim kerja (team
work) untuk melakukan suatu program bersama. Berbagai gerakan dakwah
masih saja sampai saat ini dipimpin oleh segelintir orang (itu-itu saja)
yang seharusnya sudah diagantikan team work secara jama'i (yakni
kepemimpinan kolektif atau kepemimpinan yang silih berganti). Tanpa
menyadari bahwa hasil amal jama'i itu pasti lebih afdhal dari pada amal
fardi (kerja individu). Implikasinya ialah muncul lingkungan yang tidak
kondusif/terbelakang. Faktor penyebab utamanya ialah kepemimpinan
tunggal dalam semua aspek kehidupan harokah.
Bapak/murabbi/naqib telah menjadi pemimpin mutlak di keluarga (usrah).
Kondisi itu juga sama dengan apa yang dialami oleh sekolah-sekolah,
lembaga-lembaga pemerintahan, militer dan partai-partai (di negeri
Muslim). Sistem seperti ini telah bercokol terhadap semua
lembaga/entitas kita, padahal sistem tersebutlah yang menjadi penyebab
keterbelakangan kita.
Kalau saja kita mencermati dunia internasional, kita akan menemukan
Eropa dengan spirit jiddiyyah (kesungguhan) dalam beramal terus menerus,
adalah yang pertama mengangkat syi'ar (semboyan) kebebasan dalam
pengertian modern dan telah mendirikan negara-negara nasionalis. Akan
tetapi, Amerika telah melampaui kemajuan Eropa melalui penerapan sistem
"asimilasi" yang menyatukan berbagai jenis kebangsaan dan ditata dalam
sebuah spirit kesungguhan dan untuk beramal secara serius dan
sungguh-sungguh. Sedangkan Jepang telah pula melampaui kemajuan Eropa
dan Amerika melaui spirit team work dan loyalitas pada tradisi dan
nilai-nilai agama mereka.
Anda harus membayangkan amal Islami itu harus dijalnkan bagaikan "foot
ball team". Kendati semua pemain terbaik dunia dikumpulakn dalam satu
tim sepak bola, namun di antara mereka tidak ada spirit "total foot ball
team", pasti tim tersebut kalah menghadapi tim lain yang mungkin di
bawah mereka kepandaiannya, namun konsisten dengan spirit foot ball
teamnya.
Kelemahan Ketiga (3) ialah : KEGAGALAN TARBIYAH KAUM IBU DAN ANAK-ANAK
Kegagalan yang jelas terjadi pada kaum ibu dan anak-anak. Saat kita
berhasil mentarbiyah sebahagaian kaum bapak/lelaki, kita gagal di sektor
lain (kaum ibu dan anak-anak). Kita belum mampu memebentuk pergerakan
kaum ibu yang efektif. Kaum ibu di kalangam kita masih belum mampu
-kecuali segelintir saja- memenej diri mereka sendiri atau memberi
pengaruh kepada wanita-wanita muslimah lainnya. Mayoritas kaum ibu di
kalangan kita belum mampu berkomunikasi dengan baik dengam berbagai
kalangan wanita lainnya atau berdialog dalam berbagai problematika
masyarakat.
Sedangkan di sisi lain, kita melihat kelompok-kelompok nasionalis dan
kiri mengeksploitasi kaum wanita semaksimal mungkin untuk mencapai
target-target politik mereka... Kita belum mampu memaksimalkan potensi
kaum wanita Muslimah yang begitu dahsyat, (khsuusnya dalam mencetak
generasi berkualutas tinggi).
Begitulah mereka -kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas- belum
efektif dan mampu bersaham banyak dalam gerakan kita.. Padahal kita
mengklaim dan bercita-cita bahwa kaum ibu kita mampu mentarbiyah
anak-anak kita menjadi para pemimpin dan tokoh masa depan, sedangkan
kita belum memberikan perhatian yang penuh dalam melibatkan dan
mempersiapkan mereka (sebagi sumber pemimpin masa depan). Masalah ini
masih menjadi pemandangan yang paradoks dalam gerakan Islam. Kita sulit
memenangkan pertarungan jka 50 % dan mungkin lebih (jumlah kaum ibu)
masih terabaikan dan terkucilkan dalam
the real battle...
Dalam konteks yang sama, kita belum mencurahkan tenaga kita untuk
mepersiapkan anak-anak kita dan mengembangkan potensi diri mereka (agar
lebih baik dari kita). Prosentase materi pendidikan Islam khusus
anak-anak, misalnya, belum lebih dari 5 % dari yang seharusnya... Kita
memprediksi mereka mampu membaca dan memahami buku-buku untuk kaum
dewasa.
Sesungguhnya pendidikan anak sejak balita sampai dewasa harus dirancang
khusus dengan apik (tentu dengan mendirikan sekolah-sekolah percontohan
dan alternatif). Gerakan dakwah masih banyak kehilangan dalam sektor ini
karena mengabaikannya (dan tidak menjadikannya sebagai agenda utama).
Kelemahan Keempat (4) ialah : MUNCULNYA PEMIMPIN ALA "SYAIKH"
Seringkali gerakan dakwah melahirkan pemimpin ala/model 'Syekh'.
Seakan dia adalah pahlawan malaikat yang legendaris; memiliki kemampuan
membuka tabir (ghaib), kekuatan superman, mengetahui segala sesuatu dan
menguasai segala sesuatu dan ... (ini dia) memimpin jamaah/organisasi
seumur hidup ...
Nasib dan masa depan gerakan dakwah sangat terikat dengan model
pemimpin seumur hidup seperti ini ... Sebab itu, tidak mungkin
menyingkirkannya dari kursi kepemimpinan ... Semua aktivitas dan tindak
tanduknya sangat menentukan warna dan arah organisasi, apapun bentuknya
... Jika keluar negeri, ia tetap mengendalikan organisasinya dari jauh
...
Dalam pertemuan-pertemuan, pemimpin model seperti ini selalu
mendominasi jalannya acara. Ia bicara kapan dia mau ... di mana ia mau
dan sebanyak apa yang dia mau ... serta judul apa yang dia inginkan ...
Padahal dia sama sekali tidak mempersiapkan diri sebelumnya ... Tidak
pula menyusun pikiran-pikiran atau cata-catatannya. Dia memiliki hak
untuk menguasai pembicaraan dan semua hadirin harus menampakkan
penghormatan padanya dan mendahulukannya dalam segala sesuatu, tanpa
peduli atas tuntutan posisi kepemimpinannya yang memerlukan
kehalian-keahlian, kemampuan-kemapuan dan spesialisasi.
Problem/hambatan utama yang dihadapi para pemimpin level kedua ialah
siapa gerangan yang akan mampu menggantikan 'Syekh' itu? Setiap mereka
sudah ditempel dijidatnya sebuah keyakinan bahwa mereka tidak ada
apa-apanya di hadapan sang 'Syekh' itu ... Tawadhu' atau 'ketundukan'
seperti ini sudah menjadi syarat pembentukan/rekrutmen haraki ...
Mayoritas mereka tidak pernah berlatih atas kebebasan berpendapat dan
kepemimpinan melalui praktek syura jama'i. Penghormatan yang agung
terhadap 'Syekh' tidak memungkinkan mereka untuk menantangnya dan
berbeda pendapat dengannya, bahkan hanya sekedar mempertanyakannya ...
apalgi membangun pemikiran/pendapat yang berbeda dengannya ...
Terkadang hubungan yang dibangun tercerminkan dalam ungkapafan sufi
"murid di hadap guru (Syekh)-ya harus seperti mayyit (orang mati) di
hadapan orang yang memandikannya". Demikianlah dalam banyak hal
keputusan yang sangat diperlukan dari sang 'Syekh' bisa saja berubah
menjadi sebuah doa'. Amat sangat disayangkan kondisi seperti ini
berulang dan terus menerus terjadi (di banyak kawasan, tanpa terkecuali
di Indonesia), dan bahkan sampai ke tingkat sebahagian mereka menuduh
sebagian yang lain dengan perkataan: "Sesuai, nifaq (atau pura-pura)
atau berpisah". Kita berlindung pada Allah dari ungkapan demikian.
Namum, kita juga menemukan sebagian sifat-sifat itu paling tidak ada
pada sebagian besar para pemimpin gerakan dakwah.
Kita sekarang harus mempelajari dengan sungguh-sungguh dan objektif
paraktek dan pengalaman dunia internasional moderen di mana untuk masa
terbaik (kepemimpinan) yakni antara 4 sampai 6 tahun saja dan mungkin
diperpanjang hanya untuk satu kali masa jabatan ... Sebuah kondisi yang
memungkinkan untuk memimpin itu paling lama hanya 12 tahun. Ketika masa
kepemimpinan selesai, maka mantan para pemimpin itu bisa bersaham
positif dan efektif melalui komite khusus/spesialis atau sebagai
penasehat bagi pemimpin yang baru disebabkan kehormatannya atau
keahliannya atau pengalamannya.
Kelemahan Kelima (5) ialah : KEHILANGAN PERAN KELEMBAGAAN
Gerakan Islam menyandarkan gerakannya pada kekuatan
individu, di mana tugas/peran gerakan diwakilkan kepada mereka. Hal
seperti ini mengharuskan ketergantungan fungsi dan tugas lembaga kepada
para individu tersebut. Akhirnya terjadi ketidak-stabilan dan banyaknya
perubahan tugas / peran dan kekurangan yang luar biasa dalam memenuhi
berbagai peran yang diperlukan oleh lembaga.
Beramal/bergerak di dasari lembaga amat jarang kita lihat. Ada
beberap lembaga, tapi sangat terbatas, yang dibentuk berdasarkan
strategi, program kerja dengan spirit team work, serta organisasi yang
sehat. Sebab itu, gerakan dakwah belum mampu mengejewantahkan/mewujudkan
tujuan-tujuannya melalu lembaga-lembaga (yang sesuai).
Bahkan sebagian lembaga yang ada (termasuk partai politik) malah
menjadi sia-sia bagi gerakan dakwah yang seharusnya membantu kemajuan
gerakan dakwah, dan (bahkan ada yang menyimpang dan menjadi blunder)
bagi gerakan dakwah itu sendiri. Masyarakt menjadi kehilangan harapan
terhadap perbaikan kehidupan mereka.
Semua itu, tak lain, peran individu terlalu menonjol dan dominan.
Tidak lagi diperankan adanya lembaga. Karena saking kuat pengaruh dan
peranan individu. Karena itu, berkurangnya peranan lembaga ini,
mendorong terjadi penyimpangan yang sangat fatal.
Kendati beberapa individu gerakan dakwah itu berhasil dalam
meuwujudkan proyek-proyek dakwah pribadi mereka, namun mereka gagal
menyukseskan berbagai aktivitas yang bersifat jama’i. Sebagaimana
gerakan dakwah juga belum mampu sampai saat ini melahirkan solusi yang
mendesak terhadap “fiqh muassasat” dengan bahasa dan konsepsi moderen
yang dipahami.
Aktivitas dakwah akan selalu terbatas kepada “slogan” sampai lahir di
seluruh negeri kita (Islam) lembaga-lembaga dakwah Islam yang bersifat
massif yang sukses dengan prosentase 10 lembaga besar di setiap negeri
Islam, sebelum kita berhak mengkalim untuk masuk ke dalam percaturan
menegakkan lembaga-lembaga yang lebih besar lagi (dalam bentuk negara)
dengan sukses.
Kelemahan Keenam (6) ialah : MENCAMPUR ADUKKAN ANTARA GHOYAH & WASILAH
Tidak sedikit dari kalangan gerakan dakwah (bahkan para qiyadahnya)
mencampuradukkan antara ghoyah/tujuan dengan wasilah/sarana. Sering
sekali kita menyaksikan bahwa kemaslahatan jama'ah menjadi standar kerja
dan kesuksesan. Padahal kita tahu bahwa jamaah itu pada hakikatnya hanya sarana untuk berkhidmat/melayani tujuan perbaikan kondisi masyarakat.
Pencampuradukkan itu telah menyita jamaah untuk sibuk memikirkan dan
bekerja untuk kepentingannya melebihi kepentingan masyarakat. Padahal
jamaah itu pada awalnya didirikan bertujuan untk memperbaiki dan
melayani masyarakat.
Sebuah survey telah membuktikan bahwa mobilisasi waktu, harta dan
tenaga anggota jamaah tercurah untuk kepentingan internal sekitar 70 %
dan hanya 30 % yang diberikan untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Sedangkan urutan yang benar adalah kebalikannya. (Dalam banyak kasus,
potensi masyarakat atau luar jamaahlah yang disedot sebanyak mungkin
untk kepentingan elite jama'ah.
Sesungguhnya jama'ah sekarang sudah menjadi partai yang muqaddas
(disucikan). Orientasinya persis seperti partai umumnya yang didirikan
sejak awal untuk kepentingan diri dan anggotanya. Inilah faktor yang menyebabkan jamaah
itu tidak berbeda dengan club olah raga atau organisasi profesi di mana
ruang lingkup pelayanannya terbatas pada anggotanya saja.
Sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya gambaran sebuah partai itu
ialah organisasi yang terdiri dari para anggotanya yang sibuk dengan
kepentingan anggotanya saja, tanpa melirik peran utama yang seharusnya
dimainkan dalam masyarakan secara keseluruhan.
Sebab itu, mayoritas masyarakat tidak mau peduli atau empati terhadap
kezaliman yang menimpa jama'ah/tokohnya. Fenomena ini diiringi pula
oleh kehilangan eksistensi kelompok Islam yang mampu menduduki posisi
(dalam masyarakat) sebagaimana kelompok sekuler sebagai hasil dari tidak
terjalinnya kerjasama antara gerakan dakwah atau jama'ah yang ada.
Sesungguhnya strukturisasi gerakan dakwah terkadang juga menjadi penghambat untuk merealisasikan tujuan-tujuan pokoknya. Harus ditekankan —tanpa ragu-ragu— keharusan gerakan dakwah
mencarikan solusi berbagai persoalan umat secara umum dan menciptakan
solusi tersebut merupakan tantangan langsung yang dihadapi gerakan
dakwah (masa kini). Demikian pula, geralan dakwah berkewajiban untuk memobilisasi seluruh
potensi dan kekuatannya untuk memberikan solusi berbagai persoalan
(masyarakat) tersebut, agar umat Islam yakin bahwa gerakan dakwah itu
adalah benteng yang aman yang memungkinkan mereka besandar/berlindung
dan concern betul terhadap semua urusan mereka.
Kelemahan Ketujuh (7) ialah : FANATIK KESUKUAN & NASIONALISME
Secara teori, gerakan dakwah meyakini wihdatul ummah (kesatuan umat)
dan dakwah internasional. Akan tetapai dalam prakteknya kita belum
menemukan implementasi yang memadai terhadap maknanya. Prilaku kita
masih diwarnai kecenderungan dan karakter kesukuan dan nasionalisme
(kewarganegaraan masing-masing).
Fenomena tersebut nampak dengan jelas saat berbagai pertemuan di mana
setiap kita masih tergantung kepada teman se kabilah atau senegaranya.
Sedikit sekali interaksi sosial kita dengan mereka yang di luar ikatan
kedaerahan dan kenegaraan… Adapun dalam level qiyadah (kepemimpinan)
memang sudah ada pertemuan-pertemuan rutin berskala internasional dengan
para pemimpin lainnya. Namun, perlu diakui, masih sering tersandung
oleh keinginan-keinginan yang didasari lingkup dan tantangan bersifat
kewiliyahan dan lokal.
Kendati pertemuan-pertemuan tersebut dianggap merupakan masalah yang
asasi untuk saling bertukar informasi, pengalaman, menyusun strategi
bersama dan kordinasi kerja serta keyakinan kita bahwa musush-musuh kita
bekerja melawan kita dengan kesatuang langkah, namun harus diakui bahwa
kita belum berhasil menghadapi mereka melau kesantuan langkah pula.
Kita telah tertipu oleh pemeo yang berbunyi : “Penduduk Mekkah lebih
tahu tentang jalan-jalannya”. Kondisi sekarang sudah berubah. Kita lupa
bahwa orang asing (bukan penduduk asli) yang spesialis dan mengamati
serta mempelajari kondisi negeri kita bisa saja ia lebih tahu tentang
negeri kita dari apa yang kita ketahui. Sebagaimana juga halnya sangat
memungkinkan sebagaian pakar tertentu yang bukan penduduk asli mampu
memebrikan advis, pengalaman mereka yang akan bermanfaat untuk berbagai
aktivitas lokal kita.
Sarana komunkasi internasional sekarang telah menjadikan bumi ini
semakin hari semakin kecil dan semakin dekat. Pengertian “small village”
benar-benar menjadi kenyataan. Itulah pemahaman internasionalisasi yang
digalakkan Islam sejak kemunculannya.
Namun disayangkan, berbagai gerakan dakwah masih saja pandangan
terhadap berbagai urusan/masalahnya terbelenggu oleh cara pandang lokal
dan nasional setiap negeri sehingga setiap wilayah atau negeri masih
terisolasi dari wilayah atau negeri Islam lainnya.
Kelemahan Kedelapan (8) ialah : TIDAK MEMILIKI PERENCANAAN
Kebanyakan harokah/gerakan dakwah dari hari ke hari berjuang sebatas
mempertahankan eksistensi diri. Sedikit sekali mendapatkan kesempatan
untuk menyusun perencanaan tahunan, lima tahunan dan sepuluh tahunan.
Berbagai aktivitasnya hanya dimenej melalui tantangan terhadap
berbagai krisis yang sedang terjadi. (Celakanya lagi) sering kali
terjadi aktivitas rutinitas itu berubah menjadi spontanitas (yang
kehilangan ruh/spirit, sehinga terlihat dengan nyata sebagai gerakan
yang reaktif)…
Tidak memiliki perencanaan kerja yang dirancang sebelum beraktivitas
telah menyebabkan ketidak jelasan dalam merumuskan target,
distribusi/penempatan SDM yang buruk (bukan berdasarkan
the right man on the right place, bahkan dalam banyak kasus didasari
like and dislike) telah menyebabkan kekacauan dalam menentukan skala prioritas dan kehilangan menentukan arah yang jelas.
Kita masih belum mampu menjelaskan posisi beridri kita sekarang di
mana dan berapa jarak antara kita dengan target-target yang akan
dicapai. Kita juga belum mampu bersandar pada uslub/metode yang
sistematis dalam mengevaluasi berbagai aktivitas kita.
Akibatnya, kita berjalan dalam keadaan kondisi yang tidak menyadari
tingkat produktivitas kita atau beban-beban yang ditimbulkannya, tanpa
peduli terhadap perencanaan yang sehat dan kuat dan keharusan berpindah
dari
quadrant “bekerja apa yang mungkin” kepada
quadrant “bekerja sesuai yang harus dikerjakan”.
Kelemahan Kesembilan (9) ialah : ALTERNATIF ISLAMI
Pada dekade limapuluhan, berbagai gerakan dakwah sibuk membuktikan
(kepada masyarakat) kecocokan Islam (dengan kehidupan). Setelah itu
mengarah kepada meyakinkan (masyarakat) akan keunggulan Islam terhadap
berbagai ideologi lainnya. Namun pergerakannya masih seputar penjelasan
global dan belum sampai kepada kematangan aktivitas dan keluar dari
tataran teori. Sebagai contoh sederhana, gerakan dakwah belum mampu
melahirkan alternatif dalam bidang penyusunan silabus pendidikan tingkat
universitas berdasarkan pandangan Islam, padahal kebutuhan kita sangat
mendesak dalam semua bidang, khususnya dalam studi bidang sosial.
Untuk mewujudkan alternatif tersebut bukanlah pekerjaan sosial
(charity) yang boleh dikerjakan pada waktu-waktu luang/sisa oleh
sebagian pribadi yang hanya memiliki semangat. Akan tetapi menjadi
kewajiban bagi sebagian ulama yang spesialis dengan
full time.
Gerakan dakwah sudah saatnya melahirkan beberapa institusi
pendidikan/akademis yang berkualitas tinggi untuk melakukan berbagai
ijtihad dalam berbagai lapangan.
Pekerjaan tersebut juga tidak mungkin didelegasikan kepada beberapa
ulama yang menonjol saja. Harus menjadi konsentrasi/upaya jama’i (team).
Pekerjaan spesialisasi, dengan biaya yang memadai dan meletihkan serta
memerlukan waktu. Sebuah pekerjaan yang terus menerus di mana tidak
cukup dengan bersandar kepada para simpatisan yang respek secara
spontan.
Inilah syarat untuk memulai sebuah kebangkitan peradaban raksasa umat
ini. Tanpa hal tersebut, maka keunggulan sistem Islam hanya sebatas
kepuasan emosional… Kita membutuhkan percontohan Islami (dalam dunia
nyata) yang hidup dan memberikan cahaya yang akan menarik Barat dan di
Timur ke arah peradaban Islam.
Kegairahan para insinyur, doketr dan ilmuan di bidang ilmu
pengetahuan alam (eksakta) lainnya untuk berharokah melebihi ulama ilmu
sosial menafsirkan hal tersebut, karena pengetahuan yang bersifat global
yang menarik cukup membuat mereka (ilmuan dalam bidang eksakta) puas
dan diterima dengan logika dan ketinggian, keluasan dan akhlak Islam.
Sementara para Imuan sosial yang spesialis itu memerlukan detail untuk
sampai kepada kepuasan.
Sebab itu, pola penyampaian Islam secara global (apalagi tidak ada
contoh prakteknya), tidak cukup untuk menarik mereka ke pangkuan Islam.
Ini bukanlah kondisi normal atau sehat. Kita tidak akan mampu melakukan
take off
peradaban manusia ini kembali sehingga kita melihat mayoritas pemimpin
gerakan dakwah itu dari kalangan para ilmuan sosial yang sangat
spesialis…
Kelemahan Kesepuluh (10) ialah : KRISIS INTELEKTUALITAS & BERFIKIR
Semua pemikir dan para ahli sepakat adanya kaitan yang kuat antara
metode/cara berfikir dengan pola prilaku dan metode/cara menyelesaikan
masalah.
Berfikir/intelektulitas yang sehat dan benar adalah landasan utama
dalam setiap kebangkitan peradaban. Ini adalah kosa kata pokok yang
harus dihidupkan oleh gerakan dakwah.
Kalau kita mencermati realitas masa kini, kita akan menemukan bahwa
gerakan dakwah belum mendapat taufik – secara umum – dalam
merealisasikan keselarasan dan kesatuan pemikiran di antara anggotanya.
Melihat gerakan dakwah lebih banyak berpegang kepada hal-hal yang
bersifat umum/general, maka muncul berbagai perbedaan pemikiran di
internal gerakan dakwah dalam hal-hal yang memerlukan rincian.
Sebagaimana gerakan dakwah juga habis kebanyakan potensinya untuk
beramal dan lebih concern kepada kerja ketimbang meningkatkan kualitas
berfikir dan intelektualitas anggotanya (seperti yang kita rasakan
hampir 30 tahun tergabung dalam gerakan dakwah.
Ironisnya, setiap ada usulan yang mengarah kepada peningkatan
kualitas berifikir dan intelektualitas internal, selalu kandas dan tidak
banyak mendapat dukungan. Akhirnya yang terjadi ialah tradisi taqlid
tumbuh dengan subur sehingga gerakan dakwah setiap hari berhasil
melahirkan dan mencetak muqallidun/ kaum taqlid).
Bersamaan dengan absennya sikap resmi jamaah gerakan dakwah terhadap
persoalan-persoalan utama yang menyangkut masyarakat banyak, (seperti
sistem pemerintahan yang zalim, sistem ekonomi ribawi kapitalis yang
lalim, persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan kebodohan.
Selain itu, adanya dominasi asing terhadap negeri-negeri Islam,
kejahatan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat terhadap
negara-negara lain dan sebagainya), menyebabkan terbentuk/lahirnya
pemikiran-pemikiran para pengikut gerakan dakwah yang saling
bertentangan yang sekaligus berperan menambah problem pemikiran yang
saling menjauh.
Akan lebih runyam lagi masalahnya jika sikap dan pendapat sebagian
partai dan kelompok sekuler dan ideology yang memusuhi Islam menyelusup
pula ke dalam benak sebagian anggota/qiyadah gerakan dakwah untuk
memenuhi kekosongan pemikiran tersebut (seperti yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara lainnya).
Sesungguhnya kita meyakini betul bahwa krisis
pemikiran/intelektualitas itu pada dasarnya adalah menyangkut cara
turun/menterjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam realitas
kehidupan.
Yang demikian itu akan dapat selesai dengan cara penelitian dan
ijtihad yang orisinil dalam lapangan ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan/humaniora lainnya.
Untuk itu, Independensi gerakan dakwah merupakan hal mutlak
diperlukan dan tidak boleh ada kekuatan manapun, termasuk pemerintahan
setempat yang dapat mempengaruhi cara/metode berfikirnya.
Jika gerakan dakwah tersebut benar-benar ingin melakukan perubahan
dari jahiliyah kepada Islam. Jika tidak, gerakan dakwah hanya tidak
lebih dari sekedar ornament jahiliyah itu sendiri.
Kelemahan Kesebelas (11) ialah : HILANGNYA DIALOG
Saya melihat gerakan dakwah itu gagal membangun dialog dalam tiga
level. Internal (terhadap anggota ditanamkan sam’an wa tho’atan/dengar
dan taati, tidak ada peluang untuk dialog, apalagi debat terbuka),
dengan sesama jamaah Islam lain dan dengan kelompok-kelompok yang bukan
Islam apakah yang berlandaskan agama ataupun sekularisme. Akibat dari
kegagalan tersebut lahir pemahaman-pemahaman borjuis (sektarian) di
kalangan anggotanya.
Sedangkan efek negatifnya sangat jelas, yaitu teori-teori keislaman
senantiasa jauh dari lapangan eksperimental dan realitas kehidupan nyata
(seperti ukhuwah, wala’ [loyalitas], baro’ [disloyalitas] dan
sebagainya). Akibat lain dari hilangnya dialog tersebut ialah
kejumudunan berfikir dan ketidakmampuan memperkaya pemikiran yang
diperlukan untuk mematangkan gerakan dakwah itu sendiri.
Salah paham di antara jamaah/gerakan dakwahpun tak terhindarkan yang mengakibatkan hilangnya
tsiqah (kepercayaan) dan pada waktu yang sama muncul permusuhan, padahal mereka hidup dalam satu masyarakat.
Di samping itu, gerakan dakwah juga gagal membangun dialog dengan
para penguasa setempat yang masih mengaku Islam, kendati terkadang
sangat memusuhi dan tidak toleran terhadap Islam. Akhirnya, yang
diperlihatkan gerakan dakwah selama ini hanya dua bentuk interaksi saja :
perlawanan berdarah-darah seperti yang banyak terjadi di negeri-negeri
Arab atau menjilat dan menjual gerakan dakwah itu kepada penguasa,
seperti yang terjadi di Indonesia dan sebagainya.
Saatnya dirumuskan bentuk lain yang memungkinkan terjadinya dialog
antara gerakan dakwah dengan penguasa/pemerintah yang masih belum
menerima Islam sebagai
The Way of Life. Potensi itu sangat besar jika saja gerakan dakwah maupun penguasa/pemerintah sama-sama ingin selamat dunia dan akhirat.
Poin lain yang harus dinyatakan dan diperlihatkan serta dibuktikan
gerakan dakwah ialah bahwa mereka sama sekali tidak menginginkan
kekuasaan apalagi haus kekuasaan. Yang mereka inginkan hanya keselamatan
mereka, umat mereka dan negeri mereka di dunia mauapun di akhirat
kelak.
Kelemahan Kedua Belas (12) ialah : MENGABAIKAN MEDIA MASSA
Sungguh gerakan dakwah telah mengabaikan media komunikasi dengan
dunia yang ada di sekitarnya (sehingga terbagun sebuah komunitas yang
ekslusif). Sejak awal, gerakan dakwah tidak menggalakkan anggotanya
untuk menutupi kelemahan ini sehingga menyebabkan pengaruh gerakan
tersebut dalam masyarakat jauh dari apa yang seharusnya.
Dengan demikian, gerakan dakwah membiarkan competitor/pesaingnya
(gerakan-gerakan sekularisme, liberalisme dan sebagainya) menguasai
media massa sehingga dengan mudah melukiskan gambaran yang rusak dan
buruk tentang gerakan dakwah itu. Gerakan dakwah tidak diberi peluang
dan kesempatan secara adil untuk membela diri dengan efektif.
Sesungguhnya gerakan dakwah harus mencetak kader-kadernya dengan
jumlah yang cukup dalam dunia media massa sehingga mereka menjadi insan
media profesional. Di negara-negara yang gerakan dakwah terlibat
pemilihan umum sangat diingatkan untuk hal tersebut, apalagi gerakan
politiknya belum sampai ke tingkat yang diharapkan.
Adapun dunia penerbitan internal kebanyakannya belum menarik dan
bahkan tak jarang pula yang menyebabkan masyarakat lari. Tidak ada yang
sabar menelaah produk-produknya kecuali anggota-angota yang punya
semangat luar biasa. Adapun pembaca yang bukan kader gerakan dakwah,
mereka menjauh dan tidak mau membaca terbitan-terbitannya. Terbatasnya
penyebaran terbitan gerakan dakwah tersebut mengisayaratkan hakikat yang
sesungguhnya.
Gerakan dakwah juga melupakan pengarahan terhadap sebagian tamatan
SLTA nya untuk menekuni berbagai lapangan yang banyak dibutuhkan seperti
ilmu sosial, media, informasi dan komunikasi, public services,
kepolisian dan hukum. Kehilangan strategi dan perencanaan terhadap
berbagai lapangan ini telah melahirkan akibat yang fatal terhadap
gerakan dakwah. Gerakan dakwahpun telah membayarnya dengan harga yang
mahal.
Kelemahan Ketiga Belas (13) ialah : MEMILIKI SIKAP STANDAR GANDA
Standar umum yang berlaku dalam gerakan dakwah – sampai saat ini
masih berlaku – ialah bahwa anggota dihisab/dinilai di hadapan
qiyadah/pepimpin. Kondisi ini mengharuskan mereka TAAT MUTLAK dalam
keadaan suka maupun terpaksa.
Namun, kebutuhan untuk menilai/mengevaluasi para pemimpin gerakan
dakwah masih hal yang tabu untuk didiskusikan dan dibahas. Demikian
pula halnya terhadap organisasi dan prakteknya, kendati sudah sangat
dibutuhkan.
Pada umumnya para pemimpin itu saat memaparkan laporan kerja mereka
dan kerja organisasi melakukannya secara umum dan dengan bahasa yng umum
pula seperti, “segala sesatu berjalan dengan baik”, “dakwah mengalami
kemajuan”, “sesungguhnya masa depan Islam cerah”, “kemenangan sudah
dekat”, “mereka melihatnya jauh, namun kami melihatnya dekat”, “kalian
(para anggota) harus memperkuat keimanan dan memberikan pengorbanan yang
lebih banyak lagi”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan umum lainnya.
Gerakan dakwah kehilangan dasar-dasar ilmiyah yang dijadikan sandaran
untuk mengevalusasi dan menilai para anggotanya… Belum ada statistik
atau fakta-fakta yang berdasarkan angka-angka.
Tidak ada pula analisa objektif baik kuantitatif maupun kualitatif,
khususnya terkait penjelasan tentang keanggotaan, masalah keuangan,
laporan/ survey untuk mengetahui opini umum (yang berkembang dalam
internal organisasi), taqwim jama’i (evaluasi jamaah), maupun kualitas
kerja organisasi.
Yang terjadi adalah, seringkali sebagian pemimpin itu menolak untuk
menjawab suatu pertanyaan dengan alasan keharusan sirriyah (rahasia
tanzhim) dan tidak bisa dibuka secara umum.
Sesungguhnya gerakan dakwah itu mustahil berada dalam situasi dan
kondisi yang sehat bila qiyadah (pemimpin)-nya tidak tunduk pada
“evaluasi objektif secara rutin”. Sebab itu, orang-orang yang menantang
untuk mejadi pemimpin atau ingin terus menjadi pemimpin perlu dihadapkan
kepada tantangan-tantangan yang riil dan harus selalu dituntut untuk
meningkatkan kualitas kinerja mereka.
Hal yang sangat krusial lainnya ialah, bawa pertanggung jawaban dan
evaluasi keuangan jamaah/gerakan dakwah itu memiliki dimensi akhlak
dalam internal gerakan dan dimensi hukum dalam sebuah negara.
Sebab itu, gerakan dakwah harus mengeluarkan laporan dan
penjelasan-penjelasan keuangan dan siap dievaluasi dan diaudit yang
didasari oleh landasan yang benar dan sehat.
Kelemahan Keempat Belas (14) ialah : MENYUSUN SKALA PRIORITAS KERJA
Kelemahan lain gerakan dakwah ialah dalam menyusun skala prioritas
kerja. Jika kita bertanya pada diri kita : Apakah kita mengerjakan tugas
dengan cara yang terbaik, ataukah kita memilih tugas paling urgent
untuk dilaksanakan?
Pertanyaan pertama menggambarkan kapabalitas dalam bekerja. Sedangkan
pertanyaan kedua adalah mencerminkan pemilihan prioritas kerja yang
benar sejak dari awal. Antara keduanya terdapat perbedaan yang besar.
Namun, keduanya sama pentingnya.
Boleh jadi seseorang melakukan pekerjaanya dengan sangat profesional, namun apa yang dikerjakannya itu
secondary matter (hal yang kedua, tidak yang utama).
Sesungguhnya untuk menyusun skala prioritas kerja adalah hal yang
harus didahulukan/dirancang sejak awal, karena tugas dan pekerjaan
dakwah itu jauh lebih banyak dari ketersediaan SDM yang kapabel
melakukannya. Maka menentukan skala prioritas kerja adalah hal yang amat
urgent. Dengan demikian, mobilisasi potensi SDM dan pendanaan akan
terarah kepada masalah-masalah yang tepat.
Sesungguhnya kebutuhan terhadap kemampuan menyusun skala prioritas
kerja semakin amat terasa bersamaan dengan perjalanan waktu yang semakin
cepat dan berbagai peristiwa yang semakin bermunculan. Sebab itu, tidak
cukup bila insan dakwah hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang wajib
dan penting. Akan tetapi, terlebih dahulu harus menunaikan yang lebih
penting (first think first). (Dan masalah ini hanya akan terlaksana,
jika memiliki kemampuan perencanaan yang baik dan matang)
Kelemahan Kelima Belas (15) ialah : JUMUD TANZHIM (KEBEKUAN ORGANISASI)
Kalau diperhatikan, struktur organisasi gerakan dakwah masih dalam
kondisinya yang dulu, kendati harokah/gerakan dakwah sudah mengalami
pertumbuhan, berada pada sitauasi dan kondisi yang berbeda, masyarakat
yang sudah berubah dan tentu memerlukan evaluasi susunan skala
prioritas.
Maka, seharusnyalah setiap bentuk struktur organisasi itu
mencerminkan uslub (metode) gerakan yang sebenarnya dalam beraktivitas,
agar mampu merealisasikan target-target yang karenanya gerakan dakwah
itu didirikan. Bentuk struktur organisasi dakwah juga sepantasnya
disesuaikan berdasarkan kebutuhan agar mampu menjawab perkembangan yang
dihadapi.
Sesungguhnya struktur manajemen orgaisasi yang keberadaanya sebagai wasilah (sarana) untuk mencapai target tidak pantas di-
taqdis
(dianggap suci). Menolak perubahannya adalah sebuah kekeliruan. Sebagai
kaedah umum, setiap lima tahun harus diadakah evaluasi terhadap
struktur organisasi dan manajemen gerakan dakwah.
Kelemahan Keenam Belas (16) ialah : ANTARA SIRRIYYAH & JAHRIYYAH
Betapa banyak waktu yang terbuang untuk mendiskusikan apakah
amal/aktivitas gerakan dakwah itu harus sirriyyah (tertutup) atau
jahriyyah (terbuka). Nyaris sikap terkait sirriyyah dan jahriyyah
itu dimasukkan ke dalam rukun iman. Setiap kelompok membuka lembaran
sirah Rasul SAW untuk mencari dukungan atau argumentasi yang mendukung
pendapatnya. Padahal, ini murni masalah organisasi. Kedua uslub (metode)
itu (sirriyyah dan jahriyyah) merupakan dasar/pokok (dakwah) Islam.
Untuk menentukan metode mana yang digunakan, maka situasi, kondisi
dan realitas yang akan menentukannya berdasarkan kemaslahatan gerakan
dakwah yang bersifat jangka panjang. Mungkin saja dalam situasi dan
kondisi tertentu tidak memungkinkan melakukan pilihan, karena situasi
dan kondisi suatu negara yang memaksakan pilihan amal gerakan dakwah.
Yang menjadi catatan penting ialah bahwa amal harokah dakwah (dalam
kondisi bagaimanapun) harus terbuka terhadap manusia saat terbukanya
peluang beramal secara terbuka. Pada saat itu, beramal sirriyyah bukanlah yang paling afdhal dan yang suci karena kondisinya sudah membolehkan beramal secara terbuka.
Kaedah yang sehat ialah bahwa beramal secara terbuka itu adalah yang
utama/dasar dan tidak boleh melakukan amal sirriyyah kecauali jika
beramal terbuka sudah tidak memungkinkan. Pada saat itu, menerapkan
kaedah 'darurat' diukur berdasarkan kadar/tingkat kedaruratannya. Saat
itulah berlaku kaedah ushul "Kemudaratan itu membolehkan yang dilarang".
Sumber : eramuslim.com