Sumber : http://Al-Ikhwan.net
MA’NAHU (Definisinya):
1. Secara bahasa (LUGHATAN): I’tikaf
berasal dari kata ‘AKAFA-YA’KIFU-‘UKUFAN (tetap pada sesuatu).
2. Secara syari’at (SYAR’AN):
I’tikaf yaitu menetap di masjid & tinggal di dalamnya dengan niat
mendekatkan diri kepada ALLAH SWT (LUZUUMUL MASJID WAL IQAAMATU FIIHI
BINIYYATIT TAQARRUBI ILALLAAHI ‘AZZA WA JALLA)
MASYRU’IYYATUHU (Dalil
disyariatkannya):
1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2 ayat
187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
2. As-Sunnah: Dari Aisyah ra:
“Adalah nabi SAW melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan
sampai beliau diwafatkan ALLAH SWT, lalu hal tersebut dilanjutkan oleh para
istri beliau SAW setelah wafatnya.” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf,
bab I’tikaf pada 10 hari terakhir & i’tikaf di masjid-masjid, hadits no.
2026)
3. Ijma’: Telah sepakat seluruh
ummat atas disyariatkannya i’tikaf (AJMA’ATIL UMMATU ‘ALA MASYRU’IYYATIL
I’TIKAF).
HUKMUHU (Kedudukan Hukumnya) :
1. WAJIB: Jika merupakan NADZAR,
baik nadzar tersebut MUTHLAQ (tanpa syarat) maupun MASYRUTH (dengan syarat,
misalnya jika saya dimudahkan urusan maka saya niat i’tikaf), berdasarkan
hadits Ibnu Umar ra: “Umar bernadzar akan i‘tikaf pada zaman jahiliyyah di
masjidil Haram. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: Penuhilah nadzarmu!” (HR
Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab Apabila seorang bernadzar untuk
i’tikaf di masa Jahiliyyah lalu ia masuk Islam, hadits no. 2043)
2. SUNNAH: Pada 10 hari di akhir
Ramadhan (berdasarkan hadits Aisyah no. 2026 di atas) & di bulan-bulan lainnya
selain Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN dari Aisyah ra,
Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf di bulan Syawwal, hadits no. 2041)
ZAMANUHU (Waktu memulai &
mengakhirinya):
1. Untuk yang wajib karena nadzar,
maka waktunya sesuai dengan yang dinadzarkan (lihat hadits Ibnu Umar no. 2043
di atas)
2. Untuk yang sunnah di bulan
Ramadhan, maka masuk masjid saat shalat Shubuh pada hari ke-20 bulan Ramadhan
(berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN, hadits no. 2041 di atas) dan
keluar saat akan shalat Ied (berdasarkan semua hadits-hadits tentang jumlah
hari i’tikaf di atas).
ARKANUHU (Rukun-rukun I’tikaf):
1. An-Niyyah (niat), berdasarkan
firman ALLAH SWT QS Al-Bayyinah, 98:5 dan hadits Umar ra : Innamal a’malu bin
niyyat.
2. Makanuhu (tempat i’tikaf): Di
masjid (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Baqarah, 2:187), Imam Syafi’i lebih
menyukai di mesjid jami’ & Imam Malik mensyaratkan harus di majid jami’,
karena i’tikaf akan terputus jika orang tersebut keluar untuk shalat Jumat ke mesjid
yang lain.
MAA YUSANNU LIL MU’TAKIF (Apa-apa
yang disunnahkan pada orang yang i’tikaf):
1. Puasa (berdasarkan hadits-hadits
di atas), pada selain bulan Ramadhan dibolehkan i’tikaf tanpa berpuasa
(berdasarkan hadits Umar no. 2043 di atas)
2. Shalat malam baik berjama’ah
maupun sendiri-sendiri (berdasarkan hadits Abu Hurairah, Fathul Bari, Kitab
Shalat Tarawih, bab Keutamaan org yang melakukan Qiyam Ramadhan, hadits no.
2009)
3. Menanti lailatul qadar
(berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab
I’tikaf pada 10 yang akhir & i’tikaf di mesjid-masjid, hadits no. 2027)
4. Membaca al-Qur’an, berdasarkan
firman ALLAH SWT pada surat Al-Baqarah (2) ayat 185 : “…bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
5. Berdzikir, membaca tasbih,
tahmid, takbir, tahlil, shalawat, istighfar (berdasarkan firman ALLAH SWT QS
Al-Ahzab, 33:41 dan hadits Aisyah ra, Fathul Bari, Kitab )
6. Berdoa, berdasarkan Firman ALLAH
SWT surat Al-Baqarah (2) ayat 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
MAA YUBAAHU LAHU (Apa-apa yang
dibolehkan bagi yang i’tikaf):
1. Perbuatan-perbuatan yang mubah
seperti mandi, berminyak wangi, mencukur rambut, berhias, disisir rambut oleh
istri, mencuci rambut/keramas (Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab wanita haid
menyisir rambut org yang i’tikaf, hadits no.)
2. Boleh bercakap-cakap dengan orang
lain, berduaan dengan istri, ataupun karena ada keperluan keluar ke pintu
mesjid atau kerumahnya, kemudian kembali lagi (berdasarkan hadits Shafiyyah ra,
Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab Apakah orang yang i’tikaf boleh keluar untuk
keperluannya ke pintu masjid, Hadits no. 2035 & no. 2038)
3. Wanita yang sedang istihadhah
(mengeluarkan darah bukan karena haid) boleh ikut i’tikaf (berdasarkan hadits
Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, bab i’tikaf bagi wanita yang
Mustahadhah, hadits no. 2037)
4. Orang yang i’tikaf boleh
membatalkan i’tikafnya karena sesuatu hal yang penting (Fathul Bari’, Kitab
i’tikaf, Bab Orang yang i’tikaf lalu tampak baginya keinginan untk keluar dr
i’tikaf, hadits no. 2045)
5. Orang yang i’tikaf boleh membawa
barang-barang yang diperlukan, seperti alas tidur ke dalam mesjid (Fathul
Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang keluar dari i’tikafnya di waktu shubuh,
hadits no. 2040)
ALLAHu a’lam bish Shawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar